Di
negeri ini sering kali terjadi perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.
Mulai dari perbedaan di teman kelas, tetangga, bahkan saudarapun ada yang
berbeda. Pasalnya terjadi perbedaan metode yang digunakan saat pengambilan
keputusan penentuan hal tersebut. Ada yang memakai metode hisab, ada yang
menggunakan rukyat versi pemerintah, dan ada yang menggunakan rukyat versi luar
negeri. Hal seperti ini bisa dijadikan alasan untuk mendiskusikan astronomi
(ilmu falak) Islam.
Namun,
perlu diketahui bahwa pada zaman Rasulullah penentuan awal dan akhir dengan
menggunakan metode rukyatul hilal belum sampai menggunakan ilmu Astronomi. Pada zaman
dahulu menentukan hanya dengan melihat kapan matahari terbenam atau kapan bulan
sabit pertama muncul. Hanya diperlukan mata yang sehat, akal yang jernih, hati
yang tulus dan sedikit pengetahuan tentang ciri-ciri objek langit yang
dumaksud.
Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa peradaban Islam
telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan ratusan teknik
pengamatan berikut alat-alatnya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan
tabel almanak dan kepada dunia mewariskan ribuan bintang-bintang yang hingga
kini masih dinamai dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan
dalam dunia astronomi.
Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim
baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok)
maupun untuk menjawab tantangan jihad. Pada saat itu, rival utama di dunia
adalah Romawi dengan angkatan laut yang kuat di Laut Tengah. Untuk
melawan angkatan laut diperlukan angkatan laut pula. Untuk menentukan
posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi.
Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan
pengamatan benda langit, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang
diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa
membebani kapal.
Dalam astronomi, karya astronom Mesir/Yunani kuno Ptolomeus,
terutama dalam kitab Almagest, dan karya astronom India kuno Brahmagupta, telah
dikaji dan direvisi secara signifikan oleh astronom muslim.
Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika, prinsip kamera
dan membuat lensa teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan
Mars yang tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris. Tokoh-tokoh
seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan
al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus yang heliosentris dengan
orbit elliptis, yang belakangan diadopsi oleh Copernicus dan Keppler.
Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi sama persis dengan Nasir-ud-Din al
Tusi dan Ali-al-Qusyji beberapa abad sebelumnya. Karena mereka
beraktivitas di Maragha, maka pendapat ini sempat disebut “Revolusi Maragha
pra-Rennaisance”.
Yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah
metodologi. Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak
logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan
realitas empiris yang lengkap. Astronomi juga dipisahkan dari astrologi
berbasis klenik yang diharamkan. Astronom muslim menggunakan metode
empiris serta analisis matematis untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat
dipakai untuk prediksi yang sangat akurat. Suatu prediksi astronomi yang
dibangun dari data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana
matahari, hampir tidak mungkin meleset. Prediksi ini hanya bisa dikoreksi
oleh pengamatan yang lebih akurat lagi.
Di zaman modern, seluruh pengetahuan astronomi yang
dikembangkan dunia Islam ini diteruskan oleh dunia Barat. Ketika umat
Islam menjadi mundur karena negara Khilafah melemah dan akhirnya hilang, Barat
terus membangun berbagai observatorium optis maupun radio, bahkan observatorium
satelit (seperti teleskop Hubble). Mereka juga mengeluarkan tabel-tabel
astronomis modern seperti Ephemeris,
Nautical Almanach, Astronomical Almanach dan
sebagainya. Data dan perhitungan yang akurat ini mutlak perluk untuk
meluncurkan pesawat ruang angkasa, mengoperasikan satelit – termasuk satelit
navigasi GPS, yang telah memandu jutaan pergerakan kendaraan dan manusia dewasa
ini. Andaikata rumus-rumus astronomi modern itu keliru secara fatal,
tentu jutaan pengguna GPS akan tersesat, dan ini akan menjadi kehebohan besar.
Anehnya, di abad-21, umat Islam seperti terhempas kembali
ke zaman pra Islam. Sebagian praktisi rukyat menafikan tabel astronomis
modern (seperrti ephemeris) dengan alasan itu dibuat oleh orang kafir.
Sebaliknya, rumus-rumus pendekatan (hisab taqiribi) dari
kitab-kitab tua karangan ulama Islam terdahulu yang dibuat untuk
menyederhanakan perhitungan karena belum adanya komputer, justru terus dipakai,
bahkan seolah-olah sakral, padahal untuk menghitung posisi matahari yang terang
benderang saja bisa meleset cukup jauh. Dari berbagai hisab yang kurang
akurat inilah timbul kesan bahwa astronomi belumlah menjadi ilmu pasti
(qath’i), melainkan baru dzanny, sementara rukyatul hilal dianggap sesuatu yang
lebih pasti, jadi lebih kuat.
Sementara itu, tanpa disadari mayoritas muslim yang hidup
saat ini sebenarnya sudah kurang “mengenal langit” dalam kehidupan sehari-hari,
karena telah tersedia jam, radio atau bahkan GPS. Mereka tidak lagi
seperti Badui padang pasir yang datang ke Rasulullah kala itu. Ketika
muslim saat ini mencoba melihat hilal, ditambah dengan keyakinan pada prediksi
hisab taqribi, atau prediksi dengan kriteria yang memang tidak memiliki dasar
sains maupun syar’i, maka muncullah berbagai klaim hilal yang kontroversial dengan
data astronomi modern.
Sebenarnya, jika rukyat yang kontroversial itu didukung
foto atau rekaman video, mungkin akan mengoreksi rumus-rumus astronomi yang
sudah dianggap valid. Koreksi yang bahkan akan sangat besar. Tetapi
apa lacur, sebagian praktisi rukyat ini juga menolak menggunakan teleskop atau
kamera, dengan alasan Nabi tidak menggunakannya, seolah-olah ini adalah ibadah
tauqifi.
Memang rukyatul hilal agar valid secara syar’i tidak
memerlukan konfirmasi astronomi. Tetapi bila fenomena ini terus
berlanjut, maka seolah-olah umat Islam mengingkari sendiri prestasi-prestasi
astronomi yang pernah diraih dalam peradaban keemasannya
Sumber
:
Prof.
Dr.-Ing. H. Fahmi AmharGinanjar Ramadhan
Divisi Media, Komunikasi, dan Informasi
Posting Komentar