Korupsi, sebuah tindakan yang dikutuk oleh hampir seluruh umat manusia. Rakus tak terkendali oleh para oknum korupsi menyebabkan erosi nilai moral di Indonesia. Tapi benarkah korupsi hanya terjadi dalam pemerintahan saja? Tentu tidak. Tindakan korupsi ini juga sering bermunculan dalam organisasi mahasiswa yang dalam strukturnya sering kali dianggap sebagai miniatur pemerintahan. Lalu apakah kita dapat menormalisasikan budaya korupsi hanya karena kita bagian dari miniatur “pemerintahan” tersebut? Lagi-lagi jawabannya adalah tidak. Sangat mengenaskan apabila mahasiswa yang digadang-gadangkan sebagai pemimpin masa depan malah mengikuti budaya buruk para oknum koruptor. Lalu sebenarnya siapa mahasiswa ini? Apa perannya di negara ini?
Mengingatkan kita pada lirik lagu Darah Juang, “Buruh tani, mahasiswa, rakyat miskin kota”. Pada lirik tersebut mahasiswa disandingkan di antara para buruh dan rakyat miskin kota, menjadikan mahasiswa bagian penting dari simbol perlawanan dan keadilan. Mahasiswa memiliki sebuah posisi strategis yang bisa menghubungkan pemerintah dan masyarakat. Akses mahasiswa terhadap ilmu, akses terhadap masyarakat, akademisi dan politisi, serta akses akan menghadiri konferensi dan diskusi terkait lembaga pemerintahan menjadikan perannya semakin krusial dalam negara ini. Menyandang kata “Maha” dari para siswa menjadikannya panglima di dunia pendidikan. Sebagai pemeran utama dan motor penggerak di sosial dan pendidikan. Betapa memalukannya jika panglima yang seharusnya menjadi agen perubahan malah menjadi agen penghancuran negara dengan menormalisasikan praktik korupsi dalam lingkup kampusnya sendiri.
Praktik korupsi di mahasiswa bukan hanya terkait masalah uang atau materiil saja, penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, dan gratifikasi masih sering terjadi. Sikap korupsi ini dibungkus dengan berbagai versi di kalangan mahasiswa, mulai dari titip absen, plagiarisme, mencontek, praktik outsourcing akademik (joki tugas), dan penyalahgunaan kekuasaan maupun dana pada organisasi mahasiswa. Kecurangan pada organisasi mahasiswa ini terpampang nyata bahwa ada banyak upaya untuk melanggengkan dinasti politik kampus, penggelapan dana, dan praktik jual-beli jabatan. Hasil dari semua tindakan tidak terpuji tersebut mengarah kepada keuntungan pribadi dan kelompok. Sifat rakus manusia dan moral yang lemah dari individu tersebut dinilai sebagai pengingkaran terhadap peran mahasiswa selaku moral force. Korupsi kecil yang terus menerus dinormalisasikan dalam organisasi mahasiswa ini menjadi ancaman terbesar terhadap moral dan keberlangsungan negara Indonesia itu sendiri, mengingat mahasiswa adalah kaum intelektual yang menjadi pelopor kebenaran dan keadilan.
Sarana pendidikan juga merupakan aspek penting dari permasalahan ini. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana pendidikan moral di sekolah dan perguruan tinggi yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan pola pikir siswa dan mahasiswa. Degradasi nilai moral yang terjadi di Indonesia ini harusnya disadari oleh seluruh tingkatan pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sistem pendidikan yang mengutamakan hasil daripada proses juga menjadi catatan penting. Pihak sekolah dan perguruan tinggi cenderung hanya akan mendukung dan mengapresiasi para siswa dan mahasiswa setelah mereka “berhasil” mencapai sesuatu, apabila mereka (siswa dan mahasiswa) menghadapi kesulitan atau “kegagalan” dalam prosesnya pihak sekolah dan perguruan tinggi sering kali bersikap acuh tak acuh. Kemudian terbentuklah pola pikir takut “gagal”, seakan kegagalan adalah sebuah dosa yang tidak seharusnya dibanggakan. Hal tersebut menyebabkan para siswa dan mahasiswa melupakan semua proses yang dilaluinya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang paling sempurna. Ambisi yang berlebihan terhadap hasil ini menyebabkan generasi muda buta akan mana yang baik dan mana yang buruk.
Oleh karena itu dalam penyelesaian masalah budaya korupsi ini diperlukan lingkungan akademik yang menegakan aturan dan etika dengan lebih tegas dan dapat ditaati oleh seluruh dosen, staf akademik dan mahasiswa itu sendiri. Peran dosen dan institusi pendidikan yang membentuk lingkungan akademik yang bersih dan adil sangat penting dalam mereformasi sistem pendidikan menjadi lebih baik. Pendidikan anti-korupsi dan implementasi nilai-nilai kejujuran juga akan mengikis segala bentuk kecurangan dan praktik korupsi yang sering terjadi di organisasi mahasiswa ataupun lingkungan perguruan tinggi lainnya.
Oleh karena itu penulis sangat menyadari bahwa korupsi kecil yang terjadi ini merupakan refleksi dari bobroknya sistem pendidikan Indonesia. Sehingga perlu adanya reformasi sistem pendidikan yang lebih baik lagi dengan penegakan aturan dan etika yang tegas, lingkungan akademik yang transparan, bersih dan adil, serta perlu usaha dari semua pihak untuk penerapannya. Hal tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama, sebagaimana amanat yang kita tanggung dalam pembukaan UUD 1945 yaitu untuk “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Posting Komentar