Dunia maya beberapa waktu terakhir dibanjiri karya bergaya Studio Ghibli yang dibuat oleh kecerdasan buatan. Visual bergaya anime klasik, dengan nuansa magis dan karakter khas ala Miyazaki, kini bisa dibuat hanya dengan satu prompt seperti "Anime style like Ghibli." Walaupun tampak mengagumkan di permukaan, fenomena ini menyisakan kekhawatiran serius tentang orisinalitas dan hak cipta.
Studio Ghibli selama ini dikenal dengan imajinasi murni, sentuhan emosional, dan filosofi kehidupan yang melekat dalam setiap karyanya. Ketika AI meniru gaya visual tersebut, muncul pertanyaan mendalam: apakah kecerdasan buatan hanya mengapresiasi atau justru mencuri identitas visual yang telah dibangun selama puluhan tahun?
Teknologi AI generatif seperti MidJourney dan DALL·E bekerja dengan cara menyerap data dari jutaan karya digital, termasuk ilustrasi dari seniman dan studio ternama. Tanpa izin eksplisit, gaya visual Ghibli ikut masuk dalam kumpulan data pelatihan. Ini menimbulkan dilema antara inovasi teknologi dan pelanggaran etika—terutama dalam hal kepemilikan intelektual.
Hak cipta seharusnya melindungi hasil karya orisinal dari tangan manusia. Namun, dalam kasus AI, batas itu menjadi kabur. Ketika gambar dihasilkan oleh sistem yang tidak memiliki kesadaran atau emosi, publik bertanya-tanya: siapa yang berhak atas karya itu? Pengguna AI, pembuat algoritma, atau justru seniman yang karyanya dijadikan referensi tanpa sepengetahuan?
Beberapa negara mulai merespons keresahan ini. Di Amerika Serikat, sejumlah seniman menggugat perusahaan AI karena dianggap menggunakan karya mereka tanpa izin. Sedangkan di Jepang sebagai negara asal Studio Ghibli bahwa isu ini masih dalam perdebatan hukum yang belum menemukan kejelasan. Indonesia sendiri belum memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam ranah kekayaan intelektual.
Ekosistem kreatif berada di ambang krisis kepercayaan. Jika seniman merasa karyanya bisa diduplikasi dan dimodifikasi tanpa kontrol, maka motivasi untuk mencipta bisa melemah. Generasi muda yang ingin menjadi ilustrator atau animator mungkin akan merasa kalah bersaing dengan mesin, yang mampu menghasilkan karya dalam hitungan detik. Hal ini juga membuka perdebatan lebih luas tentang peran AI dalam dunia seni dan apakah teknologi ini mengancam keberlanjutan ekosistem industri kreatif.
Di sisi lain, potensi kolaborasi antara manusia dan AI tetap terbuka lebar. Teknologi bukanlah musuh, melainkan alat. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kreator. Sistem lisensi terbuka, transparansi data pelatihan, hingga pembayaran royalti bisa menjadi solusi jangka panjang. Pembuat karya asli harus dilibatkan dalam proses ini untuk memastikan bahwa hasil karya mereka tidak dijadikan komoditas tanpa penghargaan yang semestinya.
Karya AI bisa saja menyerupai Ghibli secara teknis, tetapi takkan mampu menyentuh kedalaman makna yang dimiliki karya asli Miyazaki. Spirited Away misalnya, bukan sekadar film animasi, melainkan cerminan spiritualitas dan emosi manusia yang tak tergantikan oleh algoritma. Keberadaan teknologi AI juga membuka peluang untuk eksplorasi baru dalam dunia seni, namun tetap harus ada garis batas yang jelas antara penggunaan AI sebagai alat bantu dan pengambilalihan proses kreatif manusia.
![]() |
Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli. (Foto: KapanLagi.com) |
Di tengah derasnya inovasi teknologi, manusia tetap harus menjadi pusat dari setiap proses kreatif. Bukan hanya karena manusia menciptakan mesin, tetapi karena hanya manusialah yang mampu menciptakan makna. Inilah yang akan menjaga integritas seni dan kreativitas di masa depan. Tanpa batasan yang jelas, AI mungkin akan terus berkembang, namun hal itu harus disertai dengan pemahaman bahwa hak cipta dan kreativitas manusia harus tetap dihargai.
Posting Komentar