Bisaku "dagang"
Oleh : Tika Siti Atikah
Suasana fajar sudah hampir satu
tahun ini tidak jauh berbeda. Lantunan adzan subuh terdengar merdu
membangunkanku dari lelapnya istirahat. Setelah merapal do'a setelah bangun
tidur, kupaksa badan beranjak, pula mengajaknya siap untuk kembali menjalani
hari-hari lebih baik lagi setiap saat. Pandemi yang menyerang hampir seluruh
penjuru dunia telah membuat semua terasa semakin menyebalkan. Hari Senin sampai
Senin lagi seperti tidak ada bedanya bagi kebanyakan mahasiswa yang tengah
menjalani pendidikan semester pertengahan dikala pandemi sepertiku. Setelah
hampir satu tahun lamanya pandemi cukup mengacau dan merubah banyak cara
aktifitas manusia, tiga bulan terakhir ini aku mencoba memaksa diri untuk nekad
tetap merantau jauh dari kampung halaman, ke daerah Universitas dimana aku
menekuni pendidikan sarjana. Tidak puas rasanya menjalani perkuliahan dalam
pelukan zona nyaman. Setidaknya menurutku, dengan merantau aku bisa bersahabat
dengan kemandirian. Walaupun cukup menguras pikir agar aku tetap bisa bertahan,
tapi sampai detik ini, rasanya cukup untuk aku menaruh gelar "pribadi
produktif" pada diriku sendiri sebagai bentuk apresiasi.
Seperti biasa, hari Minggu ini aku
memaksa diri untuk tetap beranjak dari nyamannya kasur tipis diasramaku,
mengajaknya berburu jajanan pasar pagi yang amat beragam. Lumayan untuk
mengusir bosan lidahku yang mengecap cemilan dengan jenis yang sama setiap
harinya selama sepekan. Membayangkannya saja, air liurku nampak mulai riuh
meminta jatah cemilan enak mingguannya.
"Nis, yuk bangun. Matahari udah
mulai unjuk diri tuh!!"
Ku goyangkan sedikit tubuh Anisa,
teman kamar se-asrama yang sekaligus merupakan sosok sahabat yang bersedia ku
ajak nekad tetap merantau kala pandemi ini. Ia terbiasa dengan kegiatannya
kembali terlelap menggunakan mukena dengan posisi setengah terbaring diatas
sajadah dan pegangan mushafnya. Percaya diri mengandalkan ku selalu sigap
membangunkannya kembali tepat waktu.
"Mmmm.. iya kah? Ga kerasa ah
Fah!! 3 menit lagi ya,hehe.. masih ngantuk nih"
Kalimat terakhir yang diucapkannya
terdengar melemah. Sayup-sayup kelopak matanya berusaha keras membuka diri dan
membujukku untuk memberinya kompensasi waktu tambahan.
"3 menit 3 menit, ga ada!!!
Keburu sisaan nanti kita dapet jajanannya"
Ku tarik tangannya dengan paksa.
Hari Minggu setelah hampir satu tahun masa pandemi berlangsung, kini orang
sekitar sudah mulai cukup ramai kembali berburu jajanan pasar yang murah dan
beragam. Bedanya, maupun penjual dan pembeli sama-sama menjadi terbiasa
bersahabat dengan masker di wajah bagian bawah mereka. Jika kalah pagi sedikit
saja, bisa dapat cemilan sisa pilihan orang yang dibawa pulang kantong kresek
kita berdua. Aku tidak mau itu terjadi. Lidahku sudah berontak ingin segera
bertemu rindu dengan cemilan enak akhir pekan ini.
"Ayo Niiiss, ah. Aku udah siap
turun nih. Bangun!!"lanjutku
"Iya iya.. dasar lidah Fifah
yang ga sabaran" Anisa memang sudah hafal betul apa yang lidahku rindukan
setiap akhir pekan.
Aku tertawa menimpalinya. Ia kemudian
beranjak menaruh mushaf dan merapikan mukenanya.
Sampai di pasar, kita berdua memilih
untuk melakukan penjelajahan cemilan kesukaan masing-masing. Satu per satu
penjual kuperhatikan sibuk dengan barang dagangannya, sembari meneliti jajanan
pasar kesukaanku, mataku juga tak kalah jeli mencari sosok ibu pedagang yang
biasa memberiku bonus jajan tambahan setiap kali membeli padanya. Setelah
menemukan objek pencarian kedua mataku, dengan riang ku hampiri ibu setengah
baya itu. Kurang lebih kali kelima ini aku jadi berlangganan membeli jajanan
pasar buatannya.
"Selamat pagi ibu, eh disini
sekarang jualannya" sapaku berbasa-basi.
"Ouh si Neng, pagi neng..
Silahkan, jajanan buatan ibumah biasa paling enak dan murah.hehe" Ia
menimpali sapaan ku dengan senyum tersembunyi dibalik masker, tergambar jelas
dari raut kedua matanya. Lama kelamaan aku merasa cocok mengobrol santai dengan
ibu ini, sebab ternyata kami sama-sama berdarah asal Sunda.
Sambil memilah beberapa cemilan yang
dijualnya, aku coba lebih akrab dengan ibu pedagang pemberi bonus ini. Sudah
dua pekan ini sebetulnya aku menaruh penasaran pada sosok ibu ini, selain
dengan baik sekali selalu memberiku bonus, ia juga kerap menampakkan sosok
pribadi yang riang. Membuatku ingin kenal lebih jauh lagi dengan sosok ibu ini.
Setelah mulai sepi pembeli, ku coba
melontarkan satu pertanyaan padanya.
"Udah pekan kelima ni Afifah
jatuh cinta sama jajanan buatan ibu, apalagi bonusnya.hehe.. Sebenernya aku
kepo sama tips ibu bisa jualan se-happy dan se-semangat ini bu, mana
selalu ngasih bonus buat setiap mahasiswa yang beli jajanan ibu lagi"
Ibu itu tersenyum, memulai ceritanya
sambil melayani beberapa pembeli tersisa.
"Rumus semangat dan bahagia
versi ibu itu sederhana banget, neng. Satu-satunya yang menjadi api semangat
ibu jualan setiap hari adalah anak-anak ibu yang masih sekolah. Bapaknya kena
dampak berhenti kerja sejak pandemi. Jadi kita berdua putar otak lagi biar
tetep bisa modalin anak kami melanjutkan sekolah. Cuma dagang, satu-satunya
kemampuan ibu. Kalo ga dikerjain dengan semangat dan giat, gimana nasib anak
ibu nanti"
Ia cerita panjang lebar kepadaku
tanpa sungkan. Mulai dari ceritanya menjajakan cemilan buatannya setiap hari
berkeliling, proses ia membuat jajanan ringan setiap harinya dari bangun tidur
hingga penghasilan, serta suka dukanya kala dagangannya habis terjual atau
bersisa. Menarik dan manis sekali, tentang tulus kasih perjuangan orang tua
untuk anak-anaknya, siapapun memang tidak pernah ada yang berani meragukan.
Dari ceritanya, pikirku terbang jauh menapaki jalanan menuju kampung halaman
tempat dimana orang tuaku setiap harinya berpeluh dengan usaha yang sama.
Menghidupi kedua anaknya yang sama-sama tengah menempuh bangku pendidikan.
"Ibu ngasih bonus cemilan kalo
hari Minggu aja, neng. Soalnya kalo di pasar pagi ini jajanan ibu alhamdulilah
laku banyak dan habis cepat. Jadi kalo ada mahasiswa kaya Eneng yang
menghampiri lapak dagang ibu, ibu kaya melihat sosok anak sendiri. Ibu yakin
mahasiswa yang sedang merantau disini anak-anak hebat yang tengah berjuang.
Jadi ibu kasih hadiah bonus sesederhana aja. Itupun kalo anaknya bersedia ibu
kasih jajanan buatan ibu. Hehe"
Lanjutan ceritanya ini menyadarkan
pikirku untuk kembali menyimak kalimat demi kalimat yang dilontarkannya. Mulia
sekali hati ibu ini. Aku jadi rindu ibu dan ayahku.
"Fah.. udah dapet
jajannya?" Ternyata Anisa sudah kembali dengan tentengan kresek cemilan
hasil buruannya.
"Eh, iya udah nih Nis.."
"Bu.. ini aja, semuanya
berapa?" Ku berikan kantong kresek berisi jajanan pilihanku pada si ibu.
"10.000 aja neng, ini ibu kasih
bonus kaya biasa ya" ia menambahkan satu dua cemilan buatannya ke dalam
kantong kresek ku.
"Ih ibu baik banget, hatur
nuhun ya Bu.. makasih udah mau bagi cerita sama Afifah. Minggu depan kita
ketemu lagi ya, Bu"
Aku dan Anisa beranjak setelah
sebelumnya pamit dan memberikan senyum ramah padanya.
Sepanjang jalan pulang menuju
asrama. Ku ceritakan dengan semangat pengalaman bercengkramaku tadi pada
sahabatku ini. Aku dan Anisa memiliki ketertarikan yang sama, dan hampir serupa
porsi dengan ibu tadi. Kami berusaha tetap berpenghasilan mandiri dengan
menekuni bisnis jualan hasil karya rajut kami secara online di sosial
media. Belum lama mulai dan masih naik turun semangat kami menjalaninya. Dengan
cerita ibu tadi, ku harap kita mendapat api semangat baru yang tertular dari
ibu penjual itu.
"Jangan mau kalah dong semangat
kita, Nis!!!"
"Semangat!!!!!" Timpal
Anis mengacungkan tangannya yang memegang kantong kresek. Kita berdua tertawa
mengawali hari Minggu di akhir pekan ini.
Bisaku "Dagang"
Ada kesadaran sederhana tetiba
menghampiri
Disela trotoar, setelah beberapa
camilan berhasil ku beli
Ada jeda catatan yang ku raup
bersama hangat sapa mentari
Hallo yang bernama mawas diri
Kerap memanjakan "ingin"
yang meraja saat dituruti
Pagi ini..
Ku bertemu ibu pedagang yang
curahkan isi hati,
Usaha untuk anak-anak yang ia miliki
Jalan pikir tulus kasih seorang ibu,
manis sekali
Pikirku sibuk mencatat intisari
Anak muda memang sepantasnya
menelisik potensi diri
Bukan saja menadah tangan pada sosok
seseorang yang usianya tak muda lagi
"Bisa ibu, hanya dagang
begini"
Hatiku pun menimpali
Usahaku sambil belajar, pun tak jauh
porsi
"Persis bu.. bisaku, dagang,
jualan, memanfaatkan canggih teknologi masa kini"
Sesampainya di asrama, aku menoreh
kenang pagi ini dibuku catatan kesayanganku.
Posting Komentar