Juara 1 Lomba Esai Populer (KSE UIN JKT FAIR CHAMPHIONSHIP: KFC 2023)

 

 

   Sumber Gambar : Pinterest Dhiraj Tikam

 

TEKNOLOGI BUKAN MIDAS: INTEGRASI SCIENCE AND  TECHNOLOGY STUDIES (STS) DALAM PENDIDIKAN  TINGGI INDONESIA 

Karunia Haganta 

Universitas Indonesia

 

   Dunia telah mencapai tahap Revolusi Industri 4.0. Sejalan dengan kemajuan ini,  masyarakat juga berkembang menjadi masyarakat 5.0. Salah satu yang paling  krusial membentuknya adalah kehadiran teknologi, khususnya teknologi digital.  Kerap kali, teknologi diajukan sebagai solusi utama ragam masalah yang ada saat  ini. Kehadiran teknologi digital juga semakin marak dengan banyaknya IoT (Internet of Things) saat ragam kebutuhan dipermudah dengan kehadiran teknologi  digital beserta internet (Rahmawati, dkk., 2021). Teknologi dianggap dapat  mengakselerasi perkembangan bangsa untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045  (Alfathani, dkk., 2021: 2) 

   Meski demikian, tidak sedikit pula yang merasa bahwa kondisi ini bukannya  tanpa masalah. Menghadapi perkembangan teknologi, dua pandangan muncul  (Tapsell, 2021). Pertama adalah tekno-optimisme yang memandang perkembangan  teknologi sebagai hal positif dan akan membawa banyak kemajuan bagi peradaban  manusia. Kedua adalah tekno-pesimisme yang meragukan perkembangan teknologi  akan membawa dampak positif, dan justru berpendapat bahwa teknologi menambah  masalah baru. Meski sekilas amat bertolak belakang, keduanya berakar pada  keyakinan yang sama, yakni tekno-determinisme – bahwa teknologi bersifat  menentukan peradaban manusia, baik lewat dampak positif maupun negatif. Sisi  manusia dari perkembangan teknologi akhirnya jadi luput dari perhatian dalam  kedua pandangan tersebut. Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengetengahkan  perkembangan teknologi dalam dialektika manusia, media, dan teknologi, bukan  sebagai suatu determinisme. Perkembangan digital di dunia kerja kerap dipandang baik, seperti oleh OECD dan WEF. OECD menyebut digital akan membawa  manfaat berupa lapangan kerja baru, penambahan keterampilan, dan fleksibilitas  pekerja yang lebih besar (Rizaty, 2020). Digitalisasi juga berpotensi mengurangi  biaya produksi perusahaan manufaktur sebesar 17,6% yang disertai dengan  penambahan penghasilan 22,6% menurut WEF (Kusnandar, 2022). 

  Namun, bukan sekadar persoalan dampak teknologi yang ingin penulis  bicarakan. Penulis ingin berbicara mengenai hal yang cukup mendasar dari  teknologi ini, yakni proses risetnya dan iklim akademis yang menghasilkan  teknologi tersebut. Mengapa demikian? Latour (1987) memperlihatkan bahwa  proses penelitian di laboratorium bukanlah sesuatu yang netral dan cara kerjanya  yang seolah-olah diklaim sebagai sepenuhnya ilmiah. Membongkar asumsi ini,  justru Latour memperlihatkan sifat sains melalui etnografinya di laboratorium,  bahwa sains juga merupakan suatu hal yang sosial, tidak selalu sepenuhnya ilmiah  atau objektif. Sains tidak hanya mempelajari sesuatu, tetapi juga dipelajari sebagai  suatu entitas sosial, atau umumnya dikenal sebagai Science and Technology Studies (STS).

   Ini bukan berarti menisbikan peran riset teknologi, tetapi melihatnya dalam  jaringan luas sosial yang membentuknya. Penulis berbicara soal bagaimana riset  teknologi di Indonesia begitu terhubung dengan kondisi politik dan ekonomi.  Berbagai permasalahan ini terangkum ke dalam satu pertanyaan: Bagaimana  membangun ekosistem riset yang memungkinkan lahirnya peneliti dan riset  unggulan?

   Perlu digarisbawahi bahwa ini berlaku tidak hanya pada riset teknologi,  tetapi riset ilmiah pada umumnya karena riset teknologi tersebut tidak dapat berdiri  sendiri. Salah satu buktinya adalah dominannya riset teknologi ini di dunia bisnis  dan pemerintahan, khususnya dalam bentuk produksi aplikasi. Menteri Keuangan,  Sri Mulyani, sampai mengeluhkan kehadiran banyak aplikasi yang menurutnya  sudah terlalu banyak (Damayanti, 2022). Ini membuktikan bahwa walaupun teknologi memiliki potensi untuk akselerasi kemajuan bangsa, mekanismenya  tidaklah sederhana.

   Untuk mewujudkan riset teknologi yang efektif dan efisien, maka sosial politik ekosistem riset perlu diuraikan terlebih dahulu. Pertama, relasi dengan  stakeholder lainnya, yakni dunia bisnis dan pemerintahan. Umumnya ada dua  persoalan dalam konteks ini. Pertama, sulitnya menyusun kebijakan berbasis riset,  termasuk riset teknologi (Dzulfikar, 2020). Kedua, bila diserahkan kepada sektor  bisnis, riset hanya diarahkan pada pengejaran profit, alih-alih kebermanfaatan pada  masyarakat. Meski begitu, tidak bisa disangkal bahwa riset dan inovasi teknologi  di Indonesia saat ini bertumpu pada dunia bisnis, terlebih dengan menjamurnya  startup dan ekonomi platform.

   Ada dua mitos mengenai startup teknologi dan ekonomi platform ini.  Pertama, startup ini mengajukan suatu inovasi baru dalam memecahkan masalah  (Kementerian Perindustrian, 2022). Kedua, startup ini merupakan bukti positif atas  perkembangan riset teknologi di Indonesia (Kementerian Komunikasi dan  Informatika, 2019). Kedua mitos ini berjalan beriringan dengan dikotomi antara  riset yang dilakukan pemerintah dengan riset yang dilakukan industri. Industri  dianggap lebih mampu dan serius dalam mengembangkan riset teknologi dibanding  pemerintah (Agustina, 2015). Masalah dari mitos-mitos dan anggapan ini adalah  reduksi masalah, alih-alih mengidentifikasi masalah secara tepat. Sosio-politik  ekosistem riset perlu dihadapi dengan menguraikan politik itu sendiri, bukan  dengan anti-politik (Ferguson, 1994; Li, 2012).

   Penulis melihat bahwa mitos-mitos di atas lahir dari kesalahpahaman yang  sengaja dibentuk untuk menutupi masalah sebenarnya. Beberapa permasalahan  tersebut di antaranya: salah kaprah kemanfaatan; dikotomi pengabdian dan  penghidupan; dan masalah struktural dalam dunia akademis. Masalah pertama  adalah mengenai kemanfaatan yang umumnya membenturkan persoalan profit dan  manfaat untuk masyarakat. Ada perbedaan antara kemanfaatan antara pemangku kebijakan dengan peneliti. Ini berkaitan dengan dikotomi lainnya yakni Short Termism dan Long-Termism (Umar, 2020). Tuntutan terhadap suatu penelitian oleh pembuat kebijakan umumnya sesuatu yang cepat dan instan. Berbeda dengan peneliti yang memahami bahwa proses riset membutuhkan waktu yang lama dan berupa akumulasi atas riset-riset sebelumnya. Sebut saja riset Richard Feynman, peraih Nobel Fisika 1965, mengenai teori elektrodinamika kuantum, meneruskan riset-riset besar lainnya dari Heisenberg, Bohr, dan Einstein (Andersen, 2022). Bukti eksplisit perbedaan pandangan mengenai kemanfaatan ini terlihat jelas dari kasus "surplus" aplikasi di atas. Aplikasi cenderung merupakan solusi instan ketimbang menguraikan problem nyata. Ini terutama berlaku pada berbagai aplikasi yang ditujukan untuk memudahkan birokrasi. Dampaknya justru warga dipaksa mengerahkan waktu lebih banyak untuk mengurus masalahnya sendiri karena bukannya menyederhanakan, aplikasi justru lebih berupa lepas tangannya pemerintah (Lowrey, 2021). Di Indonesia, penggunaan aplikasi tetap terjebak pada persyaratan fotokopi dokumen yang umumnya diprotes masyarakat. Aplikasi tetap harus digunakan, tetapi fotokopi tetap harus disiapkan (Hastanto, 2021). Sektor industri dianggap lebih fleksibel dalam menangani birokrasi. Permasalahannya, sektor industri tidaklah berkelanjutan (sustainable) terlihat dari maraknya pemecatan yang dilakukan startup digital (Mutia, 2022) serta eksploitasi tenaga kerja ekonomi platform (Fathurrahman, 2021). Kembali pada permasalahan short-termism, sektor industri fokus pada pengejaran profit. Salah satu contohnya adalah kegagalan perusahaan konsultan pembangunan internasional ternama, McKinsey, membangun smart city di Kenya (Baraka, 2021) karena mengutamakan profit dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi dunia bisnis yang berujung pada dikorbankannya kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, ini membantah mitos bahwa industri mampu mengembangkan teknologi lebih baik dibanding pemerintah.

   Meski demikian, industri dianggap lebih serius dalam riset teknologi salah satunya adalah keseriusannya memfasilitasi riset. Riset yang dilakukan pemerintah kerap bercampur dengan masalah pengabdian. Pekerjaan sebagai peneliti dianggap tidak masalah diupah sedikit karena merupakan suatu pengabdian. Fasilitas yang diberikan juga minim dan bahkan harus diusahakan sendiri oleh peneliti.
Tuntutan ini pengabdian ini juga mewujud dalam banyaknya beban kerja peneliti, termasuk dalam dunia akademis. Kacaunya sistem akademis berkelindan dengan dua masalah di atas. Sistem akademis kesulitan memproduksi sumber daya manusia yang unggul karena orientasi pendidikan Indonesia cenderung tidak jelas (Rosser, 2018). Dua masalah di atas menambah rumit karena dunia akademis semakin terpinggirkan karena dianggap kurang berdampak atau minim kebermanfaatan meski di sisi lain memiliki segudang beban kerja dengan fasilitas minim.
Prospek menjadi peneliti riset teknologi di Indonesia sesungguhnya terbuka luas. Meski demikian, berbagai masalah di atas perlu ditangani terlebih dahulu. Di Prancis, teknisi diajarkan STS yang menguraikan aspek sosio-politik riset dan teknologi (Mialet, 2012). Penulis menganggap bahwa ini langkah awal yang dapat dan perlu diambil untuk menangani berbagai masalah di atas. Pendidikan STS memeriksa secara kritis tidak hanya bagaimana produk teknosains mempengaruhi masyarakat modern tetapi juga bagaimana segudang faktor sosial, ekonomi, politik, dan ideologi ikut campur dan mengarahkan produksi pengetahuan ilmiah (Amir dan Nugroho, 2013: 116). Integrasi STS ke dalam kurikulum, terutama di perguruan tinggi, dapat berlaku tidak hanya pada disiplin ilmu tertentu, tetapi akan jauh lebih bermanfaat jika diberlakukan baik pada ilmu alam, sosial, dan humaniora. Pendidikan STS dapat berfungsi menjembatani ragam rumpun ilmu tersebut yang dalam berbagai riset dan pembangunan biasanya terhalang karena kurangnya pemahaman satu sama lain. Sebagai contoh, skema triple helix yang digadang gadang mampu menjadi skema pembangunan dan kebijakan berbasis riset, ternyata 
menemui banyak kegagalan. Ini karena tidak adanya perhatian yang diberikan pada konteks sosial dari berbagai inovasi, baik kebijakan pemerintah maupun bisnis, sehingga yang diutamakan justru kepentingan masing-masing pihak. Terlebih lagi, karena kurangnya pemahaman atas konteks ekosistem riset seperti dipaparkan di atas, membuat akademisi mengalami kesulitan untuk memegang prinsip mereka. 

   Dunia akademis masih terjebak di antara dua ekstrem, anti-politik atau politik partisan, padahal pemahaman politik tidak sebatas itu dan STS di sini berperan penting untuk menjelaskannya kepada para calon ilmuwan. STS bukan hanya mengajarkan bagaimana mereka membedah permasalahan mereka sebagai ilmuwan, tetapi juga melakukan refleksi diri serta autokritik, sesuatu yang di Indonesia masih sangat kurang berkembang. Pasalnya, puluhan tahun keilmuan Indonesia dipaksa mengabdi sepenuhnya pada pembangunan, dibelenggu kritisismenya oleh pendekatan top-down, nasionalis, patronase, dan kroniisme (Barker, 2016). Sebagai contoh, penyusunan The Handbook of Science and Technology Studies oleh MIT Press dibedah dengan pendekatan STS itu sendiri oleh para editornya (Felt, dkk.) di edisi keempat (2017). Terlihat bahwa Felt, dkk. (2017) menyadari bahwa sejarah disiplin ilmu juga menjadi penting untuk dipelajari. Di Indonesia, pembahasan mengenai sejarah keilmuan masih belum mendapatkan perhatian yang cukup, terutama pada STEM (Science, Technology, Engineering and Math). Kajian-kajian mengenai STEM tidak berbicara mengenai sejarah keilmuannya, tetapi sejarah kebijakan yang berbasis STEM, seperti pengembangan produksi pesawat (Amir, 2013), elektrifikasi Bali, biofuel dari buah jarak, atau DNA tracking system pada industri kayu (Baker, 2016). Ilmu sosial, meski masih belum terlalu banyak, telah dikaji dalam antologi Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (2006), Adiprasetio (2019; 2022) yang mengkaji perkembangan ilmu komunikasi, atau Prawirosusanto dan Masardi (2022) yang mengkaji antropologi.

   Teknologi bukanlah Midas yang mampu membuat segala sesuatu menjadi  emas dan Indonesia Emas dibangun oleh sumber daya manusia yang kritis, bukan  sekadar teknologi. Perkembangan riset di Indonesia yang masih kurang  refleksivitas terhadap kondisi mereka sendiri menambah terjal kesulitan  membangun ekosistem riset Indonesia yang berkualitas. Integrasi STS yang  mengajarkan melihat keilmuan dan inovasi sebagai produk sosio-historis dalam  sistem pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia memungkinkan untuk  memberikan pemahaman mengenai posisi riset mereka serta melakukan autokritik  untuk menjaga kritisisme.



Salam suKSEs!
Keep Sharing, Networking, and Developing

 

Kabinet Sejua

Sharing, Networking, and Developing


📷 IG & Twitter @kseuinjkt

🐣 Tiktok @kseuin_jkt

🔎 LinkedIn & Youtube KSE UIN Jakarta

🌐 Web kseuinjkt.or.id

Email beasiswaksce@uinjkt.ac.id

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama