Patriarki menjadi sebuah kultur tradisi yang mendarah daging hingga dewasa ini. Dikotomi gender antara perempuan dan laki-laki menimbulkan banyak kompleksitas dalam ranah kehidupan sosial. Sistem sosial yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan menjadi pendukung patriarki terus membudaya dan tak tergerus oleh usia. Di Indonesia, patriarki menjadi sebuah isu sosial yang telah lumrah diperbincangkan. Tidak hanya itu, sistem patriarki tanpa sadar terus dilanggengkan melalui internalisasi ke dalam kultur sosial secara turun-temurun.
Patriarki tidak hanya berdiri sendiri jika dilihat secara eksistensinya. Patriarki lebih banyak merujuk pada pengunggulan laki-laki dibandingkan perempuan, hingga minimnya fasilitas untuk perempuan dapat berkontribusi terhadap banyak hal. Dalam sebuah studi gender, hal ini dapat disebut sebagai ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Beberapa kondisi lahir dan dapat diidentifikasi sebagai bentuk dari sebuah ketimpangan gender. Marginalisasi, Stereotype, Subordinasi, hingga Beban Ganda menjadi bentuk-bentuk ketimpangan gender yang lahir dari eksistensi patriarki.
Dari berbagai bentuk ketimpangan sosial, marginalisasi penting mendapatkan fokus kajian dan diperkenalkan kepada khalayak umum. Marginalisasi secara definisi diartikan sebagai usaha pembatasan. Secara ilmu sosiologi, marginalisasi dapat diartikan sebagai suatu pengucilan akan suatu hal secara individu ataupun kelompok sehingga terpinggirkan dari suatu sistem sosial yang lebih besar dan dominan. Dalam perspektif gender, marginalisasi sering kali dijumpai dalam berbagai sektor kehidupan seperti sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, marginalisasi dalam perspektif gender pun turut melihat ketimpangan yang dirasakan oleh perempuan. Banyak perempuan mengalami pengucilan dan perasaan terpinggirkan dari laki-laki dalam sebuah sistem tatanan sosial. Kemelekatan patriarki mendukung stereotype perempuan sehingga marginalisasi pun terus mewabah dan bertahan hingga kini.
Marginalisasi gender dirasa memiliki intrik tersendiri terutama bagi perempuan yang hendak mengaktualisasikan diri. Sedikitnya kesempatan dan ruang bebas untuk perempuan dalam mengaktualisasikan diri disebabkan oleh kemelekatan patriarki dan stereotype-stereotype yang secara implisit mengunggulkan dan menomorsatukan laki-laki dibandingkan perempuan. Masih banyak dijumpai di dalam pekerjaan, pendidikan, hingga kekuasaan politik kurang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan potensi diri yang dimilikinya.
Grafik Pendapatan Berdasarkan Gender di Indonesia
Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik)
Selain marginalisasi dalam konteks aktualisasi diri, perempuan pun mengalami marginalisasi dalam segi pendapatan dalam sebuah sektor pekerjaan. Seperti yang digambarkan pada grafik di atas, antara laki-laki dan perempuan mengalami kesenjangan sosial dalam segi pendapatan. Elise Gould dalam Economic Policy Institute menyatakan penggajian bagi perempuan bernilai lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh segregasi pekerjaan, devaluasi pekerjaan terhadap perempuan, norma sosial yang berlaku dan berkembang di masyarakat, hingga diskriminasi dari sistem patriarki yang masih terasa eksistensinya.
Seiring dengan keresahan yang terus membara dan dukungan perkembangan zaman serta pemikiran, keterbukaan akan suatu sistem penyetaraan pun mulai berkembang. Isu kesetaraan gender merupakan isu yang masih ramai dibahas dan perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu program kerja yang ada di dalam masyarakat. Isu kesetaraan gender kerap kali terjadi, khususnya pada kaum perempuan, sebagai contoh perempuan yang sulit untuk terlibat di dalam kegiatan ekonomi dan politik, berbanding terbalik oleh kaum laki-laki.
Dalam sektor domestik, perempuan masih berperan ganda, mengurus kebutuhan dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah serta keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga seringkali terjadi yang menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai korbannya. SDGs merupakan inisiatif global yang bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengatasi ketimpangan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, SDGs juga mencerminkan upaya berkelanjutan dalam merawat lingkungan sekitar. SDGs memiliki 17 tujuan dengan kebijakan yang berbeda tetapi saling terkait. Kebijakan pada Tujuan ke-5. Dalam RPJMD, kebijakan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, memperkuat peran mereka dalam pembangunan, serta memberikan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.
Tujuan ke-5 dalam SDGs menargetkan tercapainya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta anak perempuan. Fokus utama tujuan ini mencakup penghapusan diskriminasi, kekerasan berbasis gender, serta kesenjangan akses terhadap sumber daya ekonomi, politik, pendidikan, dan layanan kesehatan. Sasaran adalah dengan menghapus praktik-praktik berbahaya seperti pernikahan anak, kekerasan berbasis gender, dan memastikan partisipasi penuh perempuan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Marginalisasi gender, terutama yang dialami oleh perempuan, merupakan isu utama yang diangkat dalam Tujuan ke-5 SDGs. Hal ini tercermin dari budaya patriarki yang kental di negara kita menjadi salah satu penyebab terjadinya marginalisasi terhadap kaum perempuan dalam masyarakat. Marginalisasi perempuan merupakan marginalisasi yang dialami oleh perempuan. Bhasin mengemukakan, di dalam masyarakat patriarki, laki-laki sering kali memiliki kekuasaan atas lima aspek kehidupan perempuan.
Pertama, dalam tenaga kerja, perempuan dibatasi pada peran domestik seperti melayani keluarga, sementara laki-laki didorong untuk berkarir di ranah publik. Kedua, dalam reproduksi, perempuan sering dihalangi mengakses alat kontrasepsi dan dipaksa mengikuti peran keibuan yang ditentukan. Ketiga, seksualitas perempuan dikontrol dengan menempatkan mereka sebagai objek seksual untuk kepuasan laki-laki. Keempat, pergerakan perempuan dibatasi untuk mengatur seksualitas, produksi, dan reproduksi, melalui aturan yang membatasi mobilitas, ruang, dan interaksi. Kelima, dalam ekonomi, laki-laki mendominasi kepemilikan properti dan sumber daya, membuat perempuan terpinggirkan secara ekonomi dan lemah dalam pengambilan keputusan.
Secara tegas tujuan ke-5 SDG’s adalah untuk mencapai kesetaraan gender, menghapuskan diskriminasi, kekerasan berbasis gender, dan kesenjangan akses terhadap sumber daya, yaitu pada bidang pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi kepada perempuan. Untuk itu, Indonesia telah memberlakukan kebijakan tentang tujuan ke-5 SGDs ini dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (perlindungan pekerja perempuan), yang bertujuan untuk melindungi hak pekerja perempuan, memastikan lingkungan kerja aman, dan memberikan perlindungan khusus seperti cuti hamil.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang bertujuan untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban, dan menghukum pelaku. Dan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang bertujuan untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui kebijakan, layanan, dan edukasi. Ketiganya memiliki tujuan yang jelas dalam menjaga dan memperhatikan keamanan perempuan dan anak dalam rumah tangga maupun masyarakat. Dengan adanya ketiga kebijakan tersebut, harapannya Perempuan bekerja dengan aman, nyaman, setara, rumah tangga menjadi tempat aman dan harmonis, kekerasan menurun, korban terlindungi, serta masyarakat lebih peduli.
*) Artikel ditulis oleh Rachel Camila Rachim (Kepala Departemen PSDB) dan Intania Nur Azizah (Sekretaris Departemen PSDB) dalam program kolaborasi KSE MENULIS oleh Departemen Riset dan Teknologi — Departemen Komunikasi dan Informasi
Posting Komentar