Mahasiswa merupakan sosok
metamorfosa dari siswa. Dalam prosesnya, Ia seperti kupu-kupu, berawal dari
ulat yaitu siswa yang mencari ilmu di bangku sekolah. Ulat lahir sudah dalam
keadaan yang nikmat, ia diciptakan di atas dedaunan yang mana dedaunan itulah
sumber makanannya. Begitupun siswa, ia mendapat asupan ilmu di sekolah, ia
mencari bukan menuntut untuk menguasai. Setelah ilmu itu dicari, maka proses
selanjutnya ia akan bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Namun ada tahap ia harus
“berdiam diri”, berdiam diri disini adalah ia mencari jati diri, bukan sekedar
merenung namun memikirkan masa depan. Kepompong ibarat ketika siswa lulus dari
SMA, ia benar-benar sedang berjuang mencari jati diri sebenarnya. Berjuang
untuk mendapatkan suatu status yaitu “maha”. Dalam perjalanannya, kepompong hampir
mirip dalam kehidupan kita setelah SMA, berjuang untuk menjadi indah,
menunjukkan gelora kebangkitan dan menerbangkan sayap ke penjuru dunia. Ya,
setelah lulus SMA pada umumnya berjuang untuk mendapatkan perguruan tinggi. Di
perguruan tinggilah kita menjadi kupu-kupu yang melebarkan sayap untuk
menggapai cita-cita.
Perlu kita ketahui, mencari dan menuntut ilmu merupakan
dua hal yang berbeda. Mencari ilmu kita dapatkan di bangku sekolah, di mana
sang guru telah memberi ilmu dan kita langsung menerimanya. Berbeda dengan
menuntut ilmu, coba kita lihat sejarah terdahulu. Di mana ilmuwan-ilmuwan kita
benar-benar berjuang untuk menuntut ilmu, menuntut agar menguasai ilmu dari
sang maha guru. Contohlah kisah ulama-ulama terdahulu, mereka dalam mencari
ilmu harus pergi menemui sumber ilmunya langsung. Bisa juga kita teladani kisah
sahabat dalam mempelajari Al-Qur’an, betapa indahnya kisah sahabat yang selalu
bersemangat dalam menuntut ilmu dan langsung menemui Rasulullah SAW. Bedanya
kita dengan sahabat Nabi Muhammad SAW adalah sahabat mempelajari ilmu Al-Qur’an
hingga hafal bacaannya, lalu memahami dan diamalkan. Selanjutnya, baru mempelajari
ayat-ayat suci Al-Qur’an lainnya. Sedangkan kita mencari ilmu sebanyak-banyaknya
dan sering kali lupa untuk diamalkan. Itulah yang membuat menuntut ilmu adalah
hal yang perlu kita tanamkan dalam diri kita, menuntut untuk menguasai dan
mengamalkannya.
Dalam istilah umum, maha adalah strata tertinggi dalam
sebuah kehidupan. Maka dapat dipastikan tempat mengemban ilmunya pun berbeda
dengan siswa. Maha merupakan status yang tak sembarang orang bisa memakainya.
Dalam kehidupan, selain tuhan yang mempunyai gelar “Maha” hanya siswa yang
memiliki gelar “Maha”, tidak ada gelar “maha” yang diberikan selain kepada
siswa. Begitu mulianya seorang siswa mendapatkan gelar “maha”. Namun, dalam
praktiknya jarang sekali gelar “maha” ini digunakan dengan optimal. Sering kita
lihat fenomena dimana mahasiswa zaman sekarang terlihat hanya pulang pergi,
kuliah-rapat dan kesibukkan organisasinya tanpa menitikberatkan kegiatan
keilmuannya. Padahal dahulu kala, terciptanya ilmuan itu karena ketika ilmuan
menjadi mahasiswa, ia menggunakan gelar “maha” secara optimal dengan menuntut
untuk menguasai ilmu dan melahirkan temuan-temuan baru.
Lahirnya mahasiswa tercipta lantaran siswa yang jujur dan
berani. Betapa luar biasanya siswa yang mengindahkan kelulusannya dengan
menyertai kejujuran di setiap langkah perjuangannya. Berkahnya buah kejujuran
akan menuai keberhasilan dan limpahan kejujuran akan mencipta insan-insan
mulia. Betapa indahnya mahasiswa yang jujur dan berani, berani mengungkapkan
opini dan jujur dalam setiap langkah perbuatan. Produktifitas mahasiswa akan
tercipta jika ia memulai dari jujur terhadap dirinya sendiri. Jujur akan diri
ini masih jauh dari nikmat tuhan, jujur akan diri ini belum sepenuhnya dekat
dengan-Nya.
Ketika kita berbicara tentang “Maha”, sontak kita melihat
sebuah keagungan dari kata tersebut, dimana hanya sedikit orang yang
memaknainya dan mendapatkannya. Perjuangan menjadi ujung tombak untuk
mendapatkan gelar “maha”, hebatnya lagi pengorbanan untuk mendapatkan gelar
“maha” itu benar-benar bukan pengorbanan biasa. Mulai dari harta, waktu, dan
tenaga serta pikiran yang selalu terkuras untuk mendapatkan gelar “maha”. Dan
benar kata kebanyakan orang, mahasiswa itu dimulai dengan pengorbanan.
Pergilah seorang siswa untuk merantau ke dunia berbeda,
mencari gelar “maha” untuk perubahan yang mendunia. Ketika kita pergi lantas
banyak yang kita tinggalkan. Ketika air mata berlinang lantas kenangan pula
bermunculan. Pengorbanan adalah bentuk awal perjuangan. Pergi bukan berarti
meninggalkan selamanya, sejatinya perginya seorang siswa dari gelarnya adalah
untuk memberi kebermanfaatan yang lebih nyata. Ketika kamu pergi dari gelarmu
itu, tengoklah sesekali ke belakang, lihatlah perjuanganmu terdahulu. Indah
bukan?
Mahasiswa
tak hanya belajar, ia juga mengabdi. Mahasiswa tak hanya bermimpi, ia juga
berkreasi. Mahasiswa tak hanya beropini, ia juga beraksi. Dan mahasiswa
sejatinya bangga akan diri, karena gelarmu itu bukan berbicara tentang
rutinitas biasa. Namun, berbicara tentang perjuangan pembela keadilan. Menebar
manfaat dan mencegah kemungkaran. Indahnya perjuangan bukan karena mahasiswa
sembarangan, indahnya perjuangan karena mahasiswa yang memiliki visi dan tujuan
yang jelas. Menatap langit, menyongsong matahari, menggenggam dunia. Mimpi itu
jadi nyata! Jadilah mahasiswa dengan segala ke-maha-annya.
Harapan itu baru saja tercipta, kamu akan terbina suatu
saat menjadi mahasiswa pemberani, mahasiswa berprestasi dan mahasiswa pengabdi
negeri. Ingat tugas mahasiswa itu tidak hanya duduk diam mendengarkan, tapi
juga berdiri tegak meneggakan keadilan. Menjunjung tinggi nilai perjuangan,
perdamaian dan persatuan. Dan menjadi mahasiswa bukan mahasiswa sembarangan,
perlu visi misi yang jelas dan ketika kamu menjadi siswa tentu kamu memiliki
target yang jelas bahkan rinci untuk mencapai gelar “Mahasiswa”, maka
kencangkanlah tekadmu, ukir targetmu dan laksanakan. Begitulah semangat
mahasiswa, berkobar dan membara!
Penulis : Abdurrauf
Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa
Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa
Posting Komentar