Merangkul Ekonomi Sirkular: Transformasi Konsumsi dan Produksi Menuju Perubahan yang Positif

 


Pada era modern saat ini, berbagai tantangan dan permasalahan lingkungan semakin nyata dan mendesak. Terdapat dua konsep ekonomi konsumsi dan produksi yang dimaksud, yaitu konsep ekonomi linear dan sirkular. Konsep ekonomi linear, yang di mana barang diproduksi, digunakan, dan berakhir dengan dibuang. Hal tersebut memberikan dampak besar pada lingkungan. Pembangunan berkelanjutan menempatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai modal utama. Dalam konteks perdagangan internasional, penerapan sistem ekonomi sirkular dianggap sebagai salah satu metode efektif untuk meraih tujuan pembangunan berkelanjutan. Konsep ekonomi sirkular sering dihubungkan dengan pencapaian target dalam pembangunan berkelanjutan (Dahlan, 2022, p. 52). Pada akhirnya, munculnya sebuah kesadaran untuk beralih dan mengadopsi praktik ekonomi yang berkelanjutan untuk mengadopsi praktik ekonomi yang lebih berkelanjutan dan mempromosikan perubahan positif dalam pola konsumsi dan produksi yang dapat dimulai dari diri sendiri.

Peran kunci dalam mewujudkan ekonomi sirkular terletak pada sektor industri. Proses produksi yang ramah lingkungan, penggunaan bahan baku berkelanjutan, dan desain produk yang dapat didaur ulang merupakan unsur-unsur kunci dalam transformasi model produksi konvensional. Upaya pengaturan keterkaitan antara perdagangan internasional dan lingkungan hidup di Indonesia tercermin dalam keberadaan instrumen dan regulasi seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup, Peraturan AMDAL untuk proyek yang berpotensi mencemari lingkungan, serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pengolahan Lingkungan (UPL). Standar Nasional Indonesia (SNI) dan peran Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai organisasi nirlaba yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan turut memainkan peran penting dalam mempromosikan pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia, dan masih banyak lagi (Dahlan, 2022, pp. 57–58).Secara sederhana, konsep ekonomi sirkular merujuk pada suatu model ekonomi di mana produk yang telah digunakan dapat diolah kembali melalui langkah-langkah seperti mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang, mengganti, dan memperbaiki. Limbah dari produksi barang tersebut diolah kembali, menghasilkan manfaat berupa pengurangan dampak limbah berbahaya bagi lingkungan, serta dapat digunakan kembali sebagai produk baru atau sebagai bahan baku untuk produk lain (Dahlan, 2022, pp. 52–53).

Konsep ekonomi sirkular dapat dianggap kontras atau kebalikan dari ekonomi produksi yang lebih berorientasi pada pendekatan linear. Dalam ekonomi linear, ada tekanan pada aspek atau faktor tertentu karena produksi yang terus menerus dilakukan. Oleh karena itu, prinsip inti dari ekonomi sirkular adalah merencanakan produk dan aset dengan cara mengurangi konsumsi bahan baku baru dan akumulasi limbah. Model dan strategi bisnis yang optimal digunakan untuk mengonsumsi kapasitas secara efisien dan memperpanjang masa konsumsi produk atau bahan baku. Dengan mengolah produk dan bahan mentah pada tahap akhir siklus hidup, siklus yang mencakup sumber daya dan tanaman pertanian, manufaktur, perpanjangan konsumsi, pemrosesan, dan reproduksi dihubungkan kembali (Gubeladze & Solomon Pavliashvili, 2020).

Dalam menerapkan ekonomi sirkular, peran konsumen menjadi krusial. Kontribusi konsumen dapat terwujud melalui pemilihan konsumsi yang bijak, dukungan terhadap produk ramah lingkungan, dan refleksi terhadap kebiasaan konsumtif sehari-hari. Memperluas kesadaran konsumen terhadap pentingnya pembelian yang bertanggung jawab dapat membentuk permintaan pasar untuk produk yang diproduksi dengan prinsip-prinsip ekonomi sirkular. Pada beberapa tahun terakhir, penerimaan ecolabelling telah mengalami peningkatan yang signifikan di kalangan negara-negara maju. Ecolabelling merujuk pada sertifikasi produk yang diproduksi secara ramah lingkungan, memiliki prinsip tidak mencemari atau merusak lingkungan, serta menjalani proses produksi secara berkelanjutan. Tujuan dari ecolabelling adalah memberikan penanda kepada konsumen terkait dengan produk "hijau" atau ramah lingkungan. Dengan demikian, diharapkan ecolabelling dapat menjadi pendorong bagi inovasi dalam lingkungan dan perdagangan, serta mendorong produsen untuk mengurangi pasokan produk yang dapat mencemari lingkungan (Rr. Rini Utari Padmarini, 2002).

Peran kunci dalam mewujudkan ekonomi sirkular terletak pada sektor industri. Proses produksi yang ramah lingkungan, penggunaan bahan baku berkelanjutan, dan desain produk yang dapat didaur ulang merupakan unsur-unsur kunci dalam transformasi model produksi konvensional. Upaya pengaturan keterkaitan antara perdagangan internasional dan lingkungan hidup di Indonesia tercermin dalam keberadaan instrumen dan regulasi seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup, Peraturan AMDAL untuk proyek yang berpotensi mencemari lingkungan, serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pengolahan Lingkungan (UPL). Standar Nasional Indonesia (SNI) dan peran Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai organisasi nirlaba yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan turut memainkan peran penting dalam mempromosikan pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia, dan masih banyak lagi (Dahlan, 2022, pp. 57–58).

Perusahaan memiliki peran penting dalam menciptakan produk dengan siklus hidup yang diperpanjang, menerapkan strategi daur ulang dalam rantai pasokan mereka, dan mengurangi limbah produksi. Transformasi ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi operasional dan daya saing perusahaan. Secara praktis, penerapan ekonomi sirkular dapat dianggap sudah dilakukan oleh suatu industri dengan menerapkan proses tersebut pada salah satu tahap produksi atau distribusi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, industri tersebut dianggap telah mengadopsi sistem ekonomi sirkular. Sejumlah industri yang telah mengambil langkah-langkah dalam menerapkan konsep ekonomi sirkular telah diidentifikasi (Rahman, 2022).

Berdasarkan International Business Report yang dilakukan oleh Grant Thornton International, sebanyak 68% pelaku usaha di Indonesia telah memulai atau sedang mengembangkan strategi terkait. Survei yang melibatkan sekitar 3.000 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada tahun 2021, yang dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP) bersama Kementerian Koperasi dan UKM, serta Indosat Ooredoo, menunjukkan bahwa sekitar 95% UMKM menyatakan minat mereka dalam menerapkan praktik usaha yang ramah lingkungan. Khususnya, usaha yang dimiliki oleh perempuan menunjukkan minat yang lebih kuat dalam hal ini. Selain itu, sebanyak 90% UMKM menunjukkan minat terhadap praktik usaha inklusif, yang merupakan komponen penting dari SDGs. Selama periode 2010-2019, tercatat 44 perusahaan di Indonesia meraih penghargaan green industry awards. Penting untuk dicatat bahwa inisiatif-inisiatif sirkular ini tidak hanya berskala besar, melainkan juga melibatkan pelaku usaha kecil dan menengah (Rosadi, 2021).

Walaupun ide ekonomi sirkular membawa potensi positif yang signifikan, ada beberapa hambatan yang harus diatasi. Hal ini mencakup perubahan dalam sikap dan perilaku konsumen, investasi pada teknologi yang mendukung lingkungan, dan pembentukan kebijakan yang mendukung pelaksanaan praktik ekonomi sirkular. Salah satu hambatan yang dihadapi adalah keterkaitan dengan aspek keuntungan finansial. Sebagian inisiator merasa bahwa bahan baku konvensional, seperti plastik, memiliki biaya lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku ramah lingkungan. Perbandingan skala ekonomis dari kedua jenis bahan baku ini bergantung pada keterbatasan jumlah produsen, yang pada akhirnya mempengaruhi peningkatan harga produksi. Tantangan ini tidak hanya mencakup kesulitan dalam menentukan harga yang kompetitif atau persentase keuntungan, tetapi juga dipengaruhi oleh perspektif konsumen yang dapat memengaruhi keinginan mereka untuk bertransaksi. Tantangan terkait dengan perspektif konsumen kemudian melahirkan masalah lanjutan, yaitu terbatasnya pasar yang secara sadar memilih produk dengan prinsip ekonomi sirkular. Para pelaku usaha tidak hanya perlu fokus pada pemasaran produk mereka, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik masyarakat tentang konsep, urgensi, dan manfaat ekonomi sirkular (UNDP-BAPPENAS, 2022, p. 164).

Akan tetapi, pengembangan ekonomi sirkular dalam praktiknya sebenarnya mirip dengan pengembangan bisnis konvensional. Proses berpikir dan kreativitas memainkan peran utama yang sulit diukur secara angka ketika menciptakan bisnis dengan prinsip ekonomi sirkular. Kreativitas ini menghasilkan bisnis yang menarik dengan menggunakan material input atau objek bisnis yang tidak biasa, menciptakan daya tarik yang unik. Kesabaran, keberanian, dan semangat untuk terus maju tanpa menyerah juga menjadi kunci dalam mengembangkan bisnis yang berbasis pada ekonomi sirkular, sambil menyebarkan nilai-nilai circularity untuk mencapai perbaikan ekonomi dan lingkungan yang lebih baik (UNDP-BAPPENAS, 2022, p. 165).

Dengan mengadopsi ekonomi sirkular, masyarakat dapat bergerak menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Transformasi dalam pola konsumsi dan produksi menjadi elemen kunci untuk menjaga sumber daya alam, meminimalisir limbah, dan melihat perubahan positif yang nyata. Seluruh masyarakat, termasuk konsumen, produsen, dan pemerintah, memiliki peran yang sangat penting dalam merealisasikan visi ini. Sekarang sudah saatnya masyarakat mulai beralih pada ekonomi yang berkelanjutan, tak hanya pada ekonomi tradisional.


Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama