Kesetaraan Gender: Mencapai Visi Hak Asasi Manusia yang Utuh


Kesetaraan gender adalah pilar fundamental dalam perjuangan hak asasi manusia yang melampaui batas-batas gender dan menggalang kesadaran akan pentingnya kesetaraan dalam semua bidang kehidupan. Konsep ini tidak hanya mengacu pada hak-hak politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sipil yang sama bagi semua individu, tetapi juga pada penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi berbasis gender yang menghalangi perempuan dan laki-laki dari mencapai potensi penuh mereka.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, menjadi tonggak awal dalam pengembangan konsep kesetaraan gender. Dokumen ini menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat dan hak-haknya. (KOMNAS HAM) Namun, meskipun deklarasi ini secara formal menyatakan kesetaraan, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Perempuan secara konsisten menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan yang layak, kesempatan ekonomi, dan keterlibatan politik yang setara dengan laki-laki. 

Salah satu instrumen internasional yang menjadi landasan bagi kesetaraan gender adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang disepakati pada tahun 1979. CEDAW menggarisbawahi perlunya menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan memastikan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. (UN WOMEN)  Meskipun telah banyak negara yang meratifikasi CEDAW, implementasi dan pemantauan terhadap komitmen tersebut tetap menjadi tantangan yang berkelanjutan. 

Pentingnya kesetaraan gender tidak hanya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa ketika perempuan dan laki-laki diberi kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi, maka terjadi peningkatan signifikan dalam produktivitas, stabilitas sosial, dan pertumbuhan ekonomi. (KEMENPPPA) Namun, untuk mencapai kesetaraan gender yang sejati, diperlukan langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari semua pihak. Pendidikan yang inklusif dan berkualitas harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka. Selain itu, perlunya reformasi hukum dan kebijakan yang mendorong perlindungan dan pemberdayaan perempuan, serta promosi kesadaran akan hak-hak gender dari tingkat lokal hingga internasional, tidak dapat diabaikan. 

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, komitmen terhadap kesetaraan gender harus menjadi bagian integral dari setiap agenda pembangunan. Hanya dengan memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi secara merata dalam masyarakat, kita dapat mencapai visi hak asasi manusia yang utuh dan mewujudkan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua. 

Jika kita melihat lebih dalam, merasuk pada apa yang tersirat dalam syari’at Islam, sebenarnya sudah dari awal Islam mendukung yang namanya konsep “Kesetaraan”. Tidak bernada seksis, tapi lebih memandang secara merata bahwa seluruh manusia memang sama di hadapan Tuhan. Yang paling utama, yang membedakan, dan yang menjadikan lebih tinggi di hadapan Tuhan manusia satu dengan yang lainnya hanyalah “Ketakwaan”. Pun, kalau kita mau mengulik dan mencoba untuk mengkaji ulang serta melakukan reinterpretasi-genealogis Nash Al-Qur’an berdasarkan historiografi kelahiran Adam ‘Alaihi Salam, sebenarnya ada esensi kesetaraan gender di situ. Di mana kalimat “yaa ayyuhannas ittaquu rabbakum alladzii khalaqakum min nafsin wahidatin wa khalaqa minha zaujaha...” Dalam ayat pertama surat An-Nisa ini, kita bisa melihat lebih dalam, bahwa Tuhan memfirmankan sesungguhnya kita tercipta dari satu entitas (Adam) yang dari entitas itulah Tuhan ciptakan juga pasangannya (Hawa) (Anwar, 2021). Dari interpretasi semacam ini, kita bisa menggali lebih dalam bahwa memang Islam sudah sedari awal memiliki esensi terkait kesetaraan gender. 

Namun, di Indonesia, secara lebih spesifik selama masa Ekonomi Pembangunan di era Presiden Soeharto, perempuan hanya menjadi The Second Sex (meminjam istilah dari Simone de Beauvoir). Mengapa begitu? Karena pada saat itu, ideologi ibuisme sedang marak ditekankan dan diaplikasikan oleh pemerintah. Peran perempuan terhadap pembangunan Indonesia hanya terbatas pada perannya menjadi istri/ibu dalam sebuah keluarga, baik itu di ranah privat maupun di ranah publik. Karena saat itu diyakini bahwa keluarga merupakan pilar atau pondasi dasar berdirinya bangsa yang paling sulit termakan oleh tradisi-tradisi baru yang menggerus nilai-nilai keibuan. Ibuisme, menurut Suryakusuma, merupakan sebuah konstruksi sosial yang mengonstruksi peran perempuan berdasarkan hubungan perempuan dengan suami mereka. Suryakusuma meletakkan asal-usul genealogis “ibuisme-negara” sebagai “aspek paling menindas dari peng-iburumahtangga-an borjuis dan ibuisme priayi” yang menciptakan gambaran  negara sebagai sebuah keluarga, yang memposisikan bapak sebagai “sumber kekuasaan utama” dan ibu sebagai “sarana kekuasaan” (Anwar, 2021). 

Harapan demi harapan terus dilangitkan di langit bumi pertiwi, agar cita-cita dalam meraih kesetaraan gender, menghilangkan sekat-sekat seksis, diskriminasi berdasarkan gender, dan hal-hal lain yang tidak mencerminkan ketidakadilan bisa hilang dari muka bumi ibu pertiwi ini. Hingga suatu saat kita dapat melihat tidak ada lagi (walaupun terdengar begitu utopis) ketegangan-ketegangan serta konflik-konflik di antara masing-masing gender dengan segala macam bentuk egoisme golongannya.




*) Artikel ditulis oleh Kanz Luzman Ibrahim (Sekretaris Departemen COIN) dan Siti Saroh (Bendahara Departemen COIN) dalam program kolaborasi COMA oleh Departemen Riset dan Teknologi — Departemen Center of Inspiring Learning

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama